Senin, 21 Maret 2022

Bahaya Konsumsi Minyak Jelantah: Bisa Undang 4 Penyakit

 


TEMPO.CO, Jakarta -Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energi Asia, Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud yang dikutip dari Bisnis.com mengatakan rata-rata konsumsi minyak goreng sawit pada  2019 mencapai 16,2 juta kiloliter (kl). Terlebih lagi harga minyak goreng sawit yang kini melambung mengindikasikan kenaikan konsumsi minyak jelantah daur ulang ini. Padahal minyak jelantah daur ulang ini berbahaya bagi kesehatan.  

Berikut bahaya mengonsumsi minyak jelantah atau minyak goreng daur ulang: 

Menyebabkan penyakit jantung

Minyak yang sebelumnya sudah mengandung banyak lemak jenuh, saat dipanaskan berulang kali akan menjadi lebih ganas.

Dikutip dari Medical Journal of Lampung University “Konsumsi Minyak Jelantah dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan“ Lumen pembuluh darah yang mengecil akibat plak aterosklerotik di arteri koroner dapat menyebabkan aliran darah untuk jantung berkurang.

Sehingga aliran darah ke jantung yang tersumbat dalam jangka waktu tertentu dapat membentuk nekrosis akibat iskemik. Selain itu nekrosis pada miokardium juga dapat terjadi sebab radikal bebas yang terbentuk selama penggunaan minyak goreng berulang. Radikal bebas pada miokardium akan merusak membran lipid dan inti sel jantung sehingga terjadi degenerasi sel yang ada dalam jantung.  

Meningkatkan kolesterol

Selain penyakit jantung, minyak jelantah juga menyebabkan penyakit degenaratif lain seperti kolesterol dan kanker. Melansir Mhc.or.id, minyak jelantah mengandung asam lemak jenuh yang tinggi karena proses pemanasan yang berulang. Apabila dikonsumsi terus menerus HDL atau kolesterol baik akan turun dan kolesterol jahat atau LDL beserta total kolesterol akan mengalami peningkatan.  

Merusak fungsi usus halus

Dalam jurnal milik Universitas Lampung “Konsumsi Minyak Jelantah dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan“ tersebut juga disebutkan bahwa konsumsi minyak jelantah dapat merusak usus halus. Hal ini terjadi akibat teroksidasinya asam lemak tak jenuh yang membentuk radikal bebas. Radikal bebas akan mengganggu permeabilitas membran, homeostasis osmotik, dan integritas dari enzim yang menyebabkan kematian sel sampai terbentuk abses. Pada kerusakan usus halus terdapat abses kripta dan infiltrasi sel radang PMN pada bagian epitel, mukosa (lapisan kulit dalam), submukosa sampai transmural usus halus.  

Menyebabkan kanker

Selain tidak baik untuk jantung dan usus halus, minyak jelantah yang didaur ulang maupun tidak juga dapat menyebabkan kanker. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kandungan radikal bebas akibat pemanasan minyak goreng berulang dapat menyerang sel sehat dan memicu pertumbuhan sel kanker. Dikutip dari Mhc.or.id, radikal yang bertumpuk juga dapat membuat gen bermutasi dan berisiko menjadi sel kanker.


sumber : https://gaya.tempo.co/read/1550607/bahaya-konsumsi-minyak-goreng-bekas-atau-jelantah-bisa-undang-3-penyakit/full&view=ok

Minggu, 20 Maret 2022

Peluang dan Tantangan Pemanfaatan Biodiesel Berbasis Minyak Jelantah

 


JAKARTA – Minyak goreng bekas atau yang dikenal dengan minyak jelantah (used cooking oil/UCO) berpotensi memiliki nilai pasar yang tinggi. Minyak jelantah berpeluang untuk diolah menjadi biodiesel yang dapat digunakan menjadi subtitusi minyak solar bagi mesin diesel untuk sektor transportasi maupun industri. Minyak jelantah untuk biodiesel itu bukan hal yang baru di dunia. Beberapa negara sudah memanfaatkan minyak jelantah untuk energi, di Indonesia sendiri, IPB telah menggunakannya.

“Jika minyak jelantah ini dikelola dengan baik dapat memenuhi 32% kebutuhan biodiesel nasional. Memiliki peluang unutk dipasarkan baik kedalam dan keluar negeri serta hemat biaya produksi 35 % dibandingkan dengan biodisesel dari CPO (crude palm oil) serta mengurangi 91,7% emisi CO2 dibanding solar”, papar Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Effendi Manurung, mewakili Direktur Bioenergi, pada webinar Mengenal Potensi dan Dampak Minyak Jelantah yang digelar waste4change kemarin (16/3).

Siklus pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel diawali dengan proses pemurnian kemudian disaring kemudian dicampur dengan arang aktif lalu dinetralkan. Setelahnya dilakukan transferivikasi yang menghasilkan biodiesel kasar dan dimurnikan untuk menghasilkan biodiesel. Proses ini menggunakan prinsip zero process.

Effendi mengungkapkan terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan biodiesel berbasis minyak jelantah diantaranya minyak jelantah mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup tinggi sehingga membutuhkan katalis asam homogen dan diperlukan pengembangan teknologi yang efisien dan terjangkau. Diperlukan pula pemetaan potensi bahan baku dan mekanisme pengumpulan dari restoran, hotel dan rumah tangga. Juga perlu penentuan zonapengembangan program karena sebaran lokasi dimana sumber yang tidak simetris dengan lokasi pengolahan biodiesel. Tantangan dan yang menjadi isu utama yaitu dibutuhkan mekanisme harga beli dan belum ada insentif untuk pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah karena saat ini berfokus insentif berbasis minyak sawit. Saat ini baru ada dua badan usaha biodiesel berbasis minyak jelantah, yaitu Alpha Global Cinergy dan PT. Bali Hijau Biodiesel.

Implementasi biodiesel berbasis minyak jelantah di Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa program, diantaranya:

- Program mandatori biodiesel. Kontribusi biodiesel berbasis minyak jelantah sebesar 2.765 kL dari 2014-2018. Adapun produksi kemudian berhenti karena faktor keterbatasan bahan baku dan tingginya biaya produksi.

- Program pengembangan di Bali. PT. Bali Hijau Biodiesel telah mengembangkan biodiesel berbasis minyak jelantah yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar bus sekolah dan genset di beberapa hotel/resort di Bali. Kapasitas terpasang 360 liter/tahun.

- Program pengembangan di Kalimantan. Kelompok swadaya masyarakat di Tarakan Timur berhasil memproduksi biodiesel berbasis minyak jelantah dengan rat-rata produksi 180 L per hari dan dijual dengan harga Rp.11. 000/liter. Dari produksi ini mendapat keuntungan 2juta/hari.

“Kontribusi BBN akan terus meningkat dan dominan dengan implementasi B30 tahun 2020, rencana pengembangan B40 dan B50 serta rencana pengembangan greenfuel. Pengembangan program ini membutuhkan sinergi  dari NGO, perguruan tinggi, masyarakat, swasta dan pemerintah sehingga pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel dalam terlaksana”, pungkas Effendi.

Wakil Walikota Bekasi, Tri Adhianto, yang turut hadir sebagai narasumber pada webinar ini mengungkapkan minyak jelantah dapat diolah masyarakat, yang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan mereka dan penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Meski begitu, masih ada tantangan besar pemanfaatan minyak jelantah termasuk proses pengumpulan, tranportasi, pengolahan dan standardisasi kualitas biodiesel minyak jelantah.

“Pemerintah Bekasi sudah mencanangkan pada hari sampah dunia tahun 2021, menghimbau masyarakat mengumpulkan minyak jelantah, tapi ya tantangannya terkait edukasi pengetahuan masyarakat, mereka khawatir minyak jelantah yang mereka kumpulkan dijual kembali”, ungkap Tri.

Terkait minyak jelantah, selain faktor ekonomi dan lingkungan hidup, edukasi kepada masyarakat bahwa minyak jelantah juga bisa menjadi biodiesel perlu ditingkatkan. Upaya ini merupakan satu kesatuan sistem dari huru ke hilir. Juga masih banyak kendala-kendala baik dari tata pelaksana organisasi dan SOP pengumpulan.

“Saya pikir seluruh stakeholder bersama dengan Pemerintah perlu membahasa regulasi, tata pelaksana organisasinya dan menyiapkan perubahan mindset dan perilaku dari masyarakat”, tutup Tri. (DLP)


SUMBER:

https://ebtke.esdm.go.id/post/2021/03/09/2824/peluang.dan.tantangan.pemanfaatan.biodiesel.berbasis.minyak.jelantah.#:~:text=Siklus%20pengolahan%20minyak%20jelantah%20menjadi,ini%20menggunakan%20prinsip%20zero%20process.

Kamis, 17 Maret 2022

Manfaat Minyak Jelantah


Pemerintah meluncurkan B30 pada Januari 2020 untuk mendorong penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) melalui program biodiesel. Saat ini, pemerintah mengandalkan CPO sebagai bahan baku pembuatan biodiesel untuk menghasilkan B30 sebagai bahan bakar pengganti solar. 

“Berlanjutnya program B30 ini bukan tanpa resiko. Menurut riset kami, program B30 berpotensi menyebabkan defisit pasokan CPO pada 2023 karena meningkatnya permintaan CPO untuk memenuhi permintaan dari sektor biodiesel. Status defisit pasokan CPO akan tiba lebih cepat jika produksi bauran biodiesel semakin tinggi. Potensi defisit ini mengancam kawasan hutan karena ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan pasokan bahan baku biodiesel” kata Ricky Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia.

Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel untuk mengurangi risiko dampak buruk lingkungan dari minyak jelantah yang kerap dibuang begitu saja ke saluran pembuangan atau didaur ulang kembali untuk menjadi minyak goreng kemasan curah. Di tahun 2019 konsumsi minyak goreng Indonesia menghasilkan 13 juta ton minyak jelantah Indonesia. Angka ini cukup besar lantaran Uni Eropa menghasilkan 22,7 juta ton di Uni Eropa, Amerika menghasilkan 16 juta ton dan dan India 23 juta ton.

Tenny Kristiana, Peneliti The International Council for Clean Transportation (ICCT) menjelaskan potensi manfaatnya di bidang kesehatan. Menurutnya, jika ada regulasi yang mewajibkan pengumpulan minyak jelantah dan kemudian digunakan  sebagai bahan baku biodiesel, risiko daur ulang minyak jelantah untuk digunakan kembali sebagai minyak goreng akan berkurang. Hal ini kemudian akan mengurangi potensi timbulnya penyakit neurodegeneratif seperti stroke, alzheimer, parkinson dan huntington; hipertensi; penyakit kardiovaskular; penyakit jantung; kerusakan sistem gastrointestinal; serta kerusakan fungsi ginjal dan hati akibat dari penggunaan minyak jelantah secara berulang kali untuk menggoreng makanan. 

Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat mengatasi resiko peningkatan  kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) di perairan terlebih lagi minyak jelantah tergolong sebagai limbah kategori bahan beracun dan berbahaya (B3).Dari bidang pengurangan gas rumah kaca, riset ICCT menunjukkan meskipun penggunaan biodiesel B30 mengurangi mengurangi 30 juta ton emisi CO2, namun jika dihitung dari analisis daur hidup (life cycle) dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), jumlah emisi CO2 bertambah sekitar 52 juta ton akibat dari ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan bahan baku biodiesel.

Ricky Amukti menambahkan, penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat membantu pemerintah mengatasi fluktuasi Harga Indeks Produksi (HIP) Biodiesel dari CPO dan solar yang tergantung pada harga di pasar internasional. Sebagai catatan, trend HIP Biodiesel dari CPO umumnya lebih tinggi dari HIP solar. Sehingga selalu ada potensi beban subsidi yang tinggi untuk menghadirkan bahan bakar biodiesel. Sementara, minyak jelantah merupakan komoditas yang nilainya tidak tergantung pada harga di pasar internasional. Pemerintah dapat menetapkan harga tetap (fixed price) sebagai kompensasi bagi sektor penyumbang minyak jelantah untuk bahan baku biodiesel. Jika minyak jelantah ditetapkan sebagai bahan baku biodiesel, pemerintah memiliki pasokan bahan baku biodiesel yang harganya stabil dan tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga komoditas di pasar internasional.  

Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel perlu dimulai dari kebijakan pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Joko Tri Haryanto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menjelaskan terdapat tiga instrumen kebijakan yang perlu diterapkan untuk memobilisasi pengumpulan minyak jelantah dari sektor rumah tangga dan sektor usaha hotel, restoran dan kafe. Pertama, diperlukan regulasi di level pemerintah daerah (Peraturan Daerah, Peraturan Walikota/Peraturan Bupati)  untuk menekan para penghasil minyak jelantah untuk menyerahkan limbah jelantah yang dihasilkan. Kedua, diperlukan mekanisme insentif dan disinsentif sebagai stimulus bagi para penghasil minyak jelantah agar mereka mau menyerahkan minyak jelantah. Mekanisme insentif dapat berupa kebijakan fiskal seperti pemberian diskon pajak hotel dan restoran serta kebijakan non fiskal yang terkait dengan proses pengurusan perpanjangan izin usaha. Ketiga, diperlukan model bisnis untuk mengelola industri pemanfaatan minyak jelantah dengan sistem sinergi antara pemerintah dan publik (CSO, bank sampah/bank jelantah). Pemerintah dapat berperan sebagai pengelola industri minyak jelantah melalui Badan Usaha MIlik Daerah (BUMD) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Kombinasi ketiga instrumen kebijakan tersebut diperlukan untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku biodiesel dari minyak jelantah 

Ricky Amukti menyimpulkan, “Pemanfaatan minyak jelantah untuk bahan baku biodiesel dapat menjadi contoh konkret ekonomi daur ulang (circular economy) yang efisien dan multi manfaat. Sektor rumah tangga serta sektor usaha hotel, restoran dan kafe dapat dilibatkan sebagai pemasok minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel. Dengan kebijakan insentif yang tepat, sektor-sektor tersebut dapat menikmati tambahan pendapatan sebagai pemasok minyak jelantah.  Dengan sistem tersebut, masalah timbulan limbah minyak jelantah yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan dapat teratasi, kebutuhan pasokan biodiesel dapat terpenuhi dan dapat berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sektor rumah tangga serta sektor hotel restoran dan kafe.

Sumber:

https://tractionenergy.asia/id/pemanfaatan-minyak-jelantah-bagi-kesehatan-lingkungan-ekonomi-pembangunan-daerah-dan-ketahanan-pangan/


6 Bahaya Minyak Jelantah Bagi Kesehatan dan Lingkungan


Merdeka.com - Minyak goreng bekas (minyak jelantah) merupakan limbah non-B3, namun tetap memiliki dampak terhadap lingkungan jika dibuang sembarangan. Padahal, limbah rumah tangga ini memiliki potensi ekonomi yang cukup besar jika dikelola dengan benar. Minyak jelantah bisa diproses menjadi sabun, bahan bakar minyak, hingga biodiesel.

Kurangnya edukasi mengenai pengelolaan minyak jelantah di tingkat rumah tangga menyebabkan pembuangan limbah ke saluran air dan tempat sampah, kemudian berakhir di perairan dan mencemari lingkungan.

Melalui webinar bertajuk A-Z tentang Minyak Jelantah (20/3/2021), Gerakan Waste4Change dan Komunitas Jelantah4Change mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam mengelola limbah minyak jelantah. Mereka juga menginformasikan bahayanya minyak jelantah yang dikonsumsi dan dibuang sembarangan.

1. Penyakit Kolesterol Tinggi
Dampak kesehatan konsumsi minyak jelantah diantaranya menyebabkan penyakit degeneratif seperti kolesterol, kanker, dan penyakit jantung. Jelantah mengandung asam lemak jenuh tinggi akibat proses pemanasan yang dilaluinya. Jika dikonsumsi, akibatnya adalah penurunan HDL kolesterol serta peningkatan LDL dan total kolesterol.

2. Penyakit Jantung
Konsumsi minyak jelantah secara berlebihan bakal meningkatkan kolesterol dan pada gilirannya risiko penyempitan pembuluh darah. Kalau sudah begini, kesehatan jantung bisa terancam. Populernya makanan dengan kandungan lemak jenuh tinggi seperti gorengan yang diolah dengan jelantah menjadi salah satu penyebab tingginya kasus kematian karena penyakit jantung dan penyempitan pembuluh darah.

3. Kanker
Minyak jelantah yang dipakai berulang kali merupakan sumber radikal bebas. Radikal bebas tersebut bakal menyerang sel-sel sehat dan memicu pertumbuhan abnormal sel kanker. Penumpukan radikal bebas juga akan menyebabkan mutasi gen dan berisiko menjadi sel kanker. Karena kanker merupakan penyakit berat yang sulit disembuhkan, sebaiknya hindari konsumsi makanan yang diolah dengan minyak jelantah.

4. Penyumbatan Drainase
Limbah minyak jelantah yang dibuang sembarangan di saluran air tanpa dikelola terlebih dahulu akan menyebabkan penyumbatan pada saluran air atau drainase. Saluran air yang kotor dan tersumbat ini nantinya bisa menjadi tempat berkembang biak bakteri dan berisiko menimbulkan penyakit.

5. Pencemaran Air
Salah satu bahaya yang jelas dari pembuangan limbah minyak jelantah dengan tidak bijak adalah pencemaran air. Limbah cair ini bakal mengalir ke sungai dan berakhir di laut, menyebabkan pencemaran air yang lebih serius.
Minyak jelantah yang mengapung di permukaan bakal menghalangi sinar matahari, menyebabkan tumbuhan laut tidak bisa berfotosintesis. Kandungan oksigen terlarut di perairan pun jadi menurun. Pada gilirannya, kelangsungan hidup biota laut bisa terancam.

6. Pencemaran Tanah
Minyak jelantah yang dibuang ke parit atau tanah dapat terserap bumi. Minyak ini akan menggumpalkan dan menutup pori-pori tanah. Kalau sudah begini, tanah akan menjadi keras dan tidak bisa lagi mendukung aktivitas manusia. Pada gilirannya, pencemaran ini dapat menyebabkan banjir.

Demikian bahaya konsumsi minyak jelantah bagi kesehatan dan risiko pencemaran yang disebabkan pembuangan limbah minyak jelantah secara sembrono

SUMBER: 
https://www.merdeka.com/gaya/6-bahaya-minyak-jelantah-bagi-kesehatan-dan-lingkungan.html
https://tractionenergy.asia/id/pemanfaatan-minyak-jelantah-bagi-kesehatan-lingkungan-ekonomi-pembangunan-daerah-dan-ketahanan-pangan/

Bahaya Konsumsi Minyak Jelantah: Bisa Undang 4 Penyakit

  TEMPO.CO, Jakarta -Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energi Asia, Deputi Bidang...